Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli <p>Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia (JOKLI), The Indonesian Journal of Otorhinolaryngology Head and Neck, merupakan Jurnal Ilmiah di bidang Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher atau THT Kepala dan Leher yang melalui peer review yang menerbitkan artikel ilmiah dalam bentuk Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Laporan Kasus dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris</p> <p>Diterbitkan oleh Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher ( THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas</p> Fakultas Kedokteran Universitas Andalas en-US Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia 2961-7480 Rinitis Alergi pada Anak http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/16 <p><strong>Pendahuluan:</strong> Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi dari mukosa hidung yang diperantai oleh Imunoglobulin E yang ditandai dengan sumbatan hidung, <em>rhinorrhea</em>&nbsp; dan atau mata gatal dan atau bersin. Kompleksitas dan variabilitas rinitis sangat terlihat pada masa anak, dimana pada saat ini terjadi pematangan anatomis, fisiologis dan imunologis yang menghasilkan pola klinis yang sulit untuk dikaji dan juga dikelola. <strong>Tujuan: </strong>Memberikan pengetahuan mengenai diagnosis dan penatalaksanaan penyakit rinitis alergi pada anak sehingga dapat ditangani dengan tepat dan akurat. <strong>Tinjauan Pustaka:&nbsp; </strong>Prevalensi rinitis pada anak usia prasekolah 0-6 tahun bervariasi. Genetika&nbsp; memainkan peran penting sekitar 20% hingga 30% dari populasi umum dan 10% hingga 15% anak-anak mengalami atopik. Perkembangan penyakit atopik pada anak mengikuti pola <em>atopic march</em>, dimulai dari dermatitis atopik pada saat bayi, kemudian diikuti oleh alergi makanan, rinitis alergi dan asma. Kerjasama yang optimal antara pasien, pengasuh dan tenaga medis yang profesional dapat membantu memaksimalkan respons terhadap pengobatan rinitis alergi pada anak <strong>Kesimpulan:</strong> Rinitis alergi pada anak lebih bersifat intermiten dan memiliki lebih sedikit gejala tetapi lebih banyak komorbiditas dibandingkan dewasa. Keadaan RA tidak hanya menurunkan kualitas hidup dan kualitas&nbsp; belajar, tetapi juga meningkatkan risiko beberapa kondisi seperti asma, rinosinusitis dan otitis media efusi. Penatalaksanaan farmakoterapi rinitis alergi dapat menggunakan antihistamin generasi kedua, intranasal kortikosteroid, dekongestan nasal <em>spray</em>, <em>mast stabilizer</em>, irigasi nasal saline dan imunoterapi yang disesuaikan menurut usia dan berat badan.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> rinitis alergi pada anak, <em>atopic march, </em>imunoglobulin e</p> Wahyu Julianda Copyright (c) 2023 Wahyu Julianda https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.16 Diagnosis dan Tatalaksana Esofagitis Korosif http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/33 <p><strong><em>Introduction: </em></strong><em>Corrosive esophagitis is inflammation of the esophagus that occurs due to exposure to acidic or alkaline corrosive substances. Clinical symptoms is not always correlated with the degree of esophagus injury. The degree based on esophagoscopy findings is important in determining management and prognosis as an accurate predictor of complications to death. Objective: To know the diagnosis and management of corrosive esophagitis. <strong>Objective: </strong>To know the diagnosis and management of corrosive esophagitis. <strong>Literature Review:</strong> Corrosive esophagitis is most common in children caused by accidental ingestion, and in adults caused by suicide. Exposure to corrosive substances can be acids (sulfuric acid, hydrochloric acid), bases (potassium hydroxide, sodium hydroxide) and other substances. Esophagoscopy is an important examination to assess the degree of esophageal injury suspected of ingesting corrosive substances. Initial management according to the degree of esophageal injury can be in the form of observation, medical and surgical. <strong>Conclusion: </strong>Corrosive esophagitis occurs due to ingestion of corrosive substances that cause burns in the esophagus. Esophagoscopy is one of the useful diagnostics for assessing the degree of injury to the esophagus with the best time being carried out in the first 12-48 hours after ingestion of corrosive substances. The initial management of ingested corrosive substances is supportive care, observation and administration of medication or surgery according to the degree of injury to the esophagus.</em></p> <p>&nbsp;</p> Tika Hakikah Copyright (c) 2023 Tika Hakikah https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.33 Ototoksisitas akibat Penggunaan Cisplatin dan Pendekatan Otoprotektif untuk Pencegahannya http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/36 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Peningkatan secara statistik angka harapan hidup pasien kanker setelah diterapi membuat pemantauan efek samping jangka panjang kemoterapi sangat dibutuhkan. Cisplatin menjadi agen kemoterapi pilihan pada kanker kepala dan leher karna sifatnya yang sangat poten. Bertentangan dengan manfaat terapiutik tersebut, pemakaian cisplatin memiliki potensi masalah ototksik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. <strong>Tujuan:</strong> Untuk mengetahui dan memahami mekanisme ototoksisitas akibat penggunaan cisplatin dan upaya otoprotektif. <strong>Tinjauan Pustaka:</strong> Sebagai agen kemoterapi, cisplatin memiliki beberapa efek samping salah satunya bersifat ototoksik. Mekanisme ototoksik akibat cisplatin dihubungkan dengan pembentukan radikal bebas yang menyebabkan apoptosis pada sel rambut luar koklea dan jaringan penunjang di organ Corti. Pasien yang menerima pengobatan cisplatin harus dilakukan evaluasi fungsi pendengaran secara berkala. Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang menjadi pilihan utama dalam upaya preventif ototoksik akibat cisplatin. Penggunaan obat golongan seperti N-asetilsistein, sodium tiosulfat, vitamin E, amifostin membuka harapan untuk pengembangan terapi preventif ototoksik. <strong>Kesimpulan:</strong> Efek samping ototoksik yang ditimbulkan merupakan salah satu masalah yang harus ditatalaksana. Monitoring pendengaran dibutuhkan untuk mendeteksi pemasalahan ini. Beberapa agen otoprotektif seperti antioksidan dan kortikosteroid dapat menjadi pilihan tatalaksana dalam upaya preventif. Pemberian agen otoprotektif secara sistemik dan intratimpani memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penggunaannya.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> ototoksik, cisplatin, preventif, intratimpani</p> Rizki Saputra Rossy Rosalinda Sukri Rahman Gestina Aliska Copyright (c) 2023 Rizki Saputra, Rossy Rosalinda, Sukri Rahman , Gestina Aliska https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.36 Konsumsi Ikan Asin Meningkatkan Risiko Kanker Nasofaring: Tinjauan Sistematik dan Meta-analisis http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/46 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Kanker nasofaring atau sering disebut sebagai KNF adalah penyakit keganasan sel skuamosa pada lapisan epitel nasofaring. Konsumsi makanan diawetkan menyumbang persentase tertinggi penyebab KNF sebesar 35,5%, salah satu makanan diawetkan adalah ikan asin. Terdapat perbedaan pendapat di antara studi-studi yang ada mengenai pengaruh konsumsi ikan asin terhadap risiko kanker nasofaring. Beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan risiko, sementara studi lainnya menyatakan bahwa konsumsi ikan asin tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian kanker nasofaring. <strong>Tujuan:</strong> membuktikan konsumsi ikan asin meningkatkan risiko kanker nasofaring. <strong>Metode:</strong> Tinjauan sistematik dan meta-analisis. <strong>Hasil;</strong> Dari enam studi, lima studi menunjukkan hasil yang signifikan dan satu studi menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hasil meta-analisis didapatkan nilai p&lt;0,00001 dan <em>crude</em> OR sebesar 1,65. <strong>Kesimpulan</strong>: Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam satu bulan dapat meningkatkan risiko kanker nasofaring sebesar 1,65 kali.</p> <p><strong><em>Background:</em></strong><em> Nasopharyngeal cancer, often referred to as NPC, is a disease of squamous cells on the epithelial layer of the nasopharynx. Consumption of foods contributed to the highest percentage of KNF causes at 35.5%, one of the foods consumed was salted fish. There are differences of opinion between existing studies on the influence of salted fish consumption on the risk of nasopharyngeal cancer. Some studies indicate an increased risk, while other studies state that salted fishing has no significant influence on the incidence of nasopharynx cancer. <strong>Objective</strong>: Prove that the consumption of salted fish increases the risk of nasopharyngeal cancer. <strong>Methods</strong>: Systematic review and meta-analysis. <strong>Results</strong>; Out of six studies, five studies showed significant results and one study showed insignificant results. The meta-analysis resulted in a p&lt;0,00001 and a crude OR of 1.65. <strong>Conclusion</strong>: Consumption of salted fish more than three times in a month can increase the risk of nasopharyngeal cancer by 1.65 times.</em></p> AL MUNAWIR Yusufa Dika Pangestu Laksmi Indreswari Copyright (c) 2023 AL MUNAWIR, Yusufa Dika Pangestu, Laksmi Indreswari https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.46 Rhinitis Gustatori http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/22 <p><strong>Pendahuluan:</strong> Rinitis gustatori adalah bagian dari rinitis non alergi yang ditandai dengan sindrom hipersekresi hidung akibat makanan, yang ditandai dengan onset akut seperti hidung berair berlebihan yang terjadi segera setelah konsumsi makanan panas dan atau pedas.<strong> Tujuan : </strong>Mengetahui dan memahami diagnosis dan tatalaksana rinitis gustatori. <strong>Tinjauan Pustaka : </strong>Rinitis gustatori berkaitan dengan capsaicin yaitu zat yang menyengat pada cabai, saus tabasco, lobak dan lada hitam yang merangsang saraf sensorik aferen di mulut dan mukosa orofaring sehingga memicu terjadinya rinore gustatori. Saat ini tidak ada standar untuk pemeriksaan objektif guna mendiagnosis rinitis gustatori tetapi <em>skin prick test </em>dan <em>food challenge test</em> dapat dilakukan untuk menyingkirkan rinitis alergi. Penatalaksanaan yang tepat untuk kasus rinitis gustatori membutuhkan penelitian lebih lanjut guna membuktikan pemberian obat kombinasi Ipratropium Bromida dan kortikosteroid intranasal lebih efektif daripada pemberian obat tunggal atau tidak. <strong>Kesimpulan :</strong> Sampai saat ini masih belum ditemukan diagnosis untuk menentukan rinitis gustatori, namun untuk membedakan dengan rinitis alergi dapat dilakukan <em>skin prick test </em>dan <em>food challenge test</em>. Penatalaksaan yang tepat dan efektif terhadap rinitis gustatori juga masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.</p> <p><strong>Kata kunci : </strong>Rinitis gustatori, rinore, capsaicin</p> Nelviza Riyanti Copyright (c) 2023 Nelviza Riyanti https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.22 Diagnosis dan Penatalaksanaan Isolated Plexiform Neurofibroma pada Meatus Akustikus Eksternus http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/21 <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><strong>Pendahuluan:</strong> Isolated plexiform neurofibroma merupakan tumor jaringan lunak yang berasal dari perineural yang bisa mengenai banyak selubung saraf. Secara histopatologis plexiform neurofibroma menunjukkan adanya gambaran sel schwann, fibroblast dan sel mast dengan latarbelakang sel myxoid hiposeluler. Plexiform neurofibroma pada telinga luar merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan. Plexiform neurofibroma merupakan salah satu penanda dari neurofibromatosis type 1 . Eksisi tumor komplet merupakan tatalaksana yang efektif<strong>.&nbsp; Laporan Kasus</strong>: Dilaporkan satu kasus seorang anak laki laki usia 8 tahun dengan benjolan di pinna telinga kiri yang semakin membesar sejak 6 bulan yang lalu dan berdasarkan hasil CT-Scan mastoid dicurigai adanya soft tissue tumor pada tragus. Dilakukan operasi pembedahan eksisi tumor dalam anestesi umum dan didapatkan tumor ukuran 0,5x0,3x0,2cm.&nbsp; Hasil Pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil <em>dermal nerve sheath myxoma</em> dan pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan sel tumor reaksi positif dengan protein s100 dengan gambaran scattered mengarah ke diagnosis<em> plexiform neurofibroma</em>. Dua bulan setelah operasi tidak tampak ada benjolan tumbuh Kembali dan luka operasi sembuh sempurna.</p> <p><strong>Kesimpulan:</strong> Plexiform Neurofibroma pada liang telinga merupakan kasus yang jarang ditemukan. Tatalaksana eksisi secara komplit hingga batas jaringan yang normal memberikan hasil yang memuaskan dan prognosis yang baik. Plexiform neurofibroma bisa mengalami rekurensi dan&nbsp; transformasi menjadi suatu keganasan.</p> <p><strong>Kata kunci</strong>: <em>Isolated plexiform neurofibroma, nerve sheath myxoma,</em> eksisi tumor, Protein S100</p> Arif Fahmi Copyright (c) 2023 ARIF FAHMI https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.21 Penatalaksanaan Adenoma Pleomorfik Septum Nasal http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/18 <p><strong>Pendahuluan: </strong>Tumor kelenjar liur minor pada sinonasal relatif jarang, dilaporkan hanya 4% sampai 8% dari semua tumor sinonasal. Adenoma Pleomorfik adalah tumor jinak campuran yang terdiri dari komponen sel epitel, mioepitel dan mesenkim yang tersusun dalam beberapa variasi komponen. Diagnosis tumor ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan histopatologi. Penatalaksanaan kasus adenoma pleomorfik adalah dengan eksisi per endoskopi serta perlu dilakukan <em>follow up </em>untuk mendeteksi kekambuhan dan kemungkinan transformasi menjadi keganasan. <strong>Laporan kasus</strong>: Dilaporkan seorang pasien perempuan umur 46 tahun dengan hidung tersumbat sebelah kiri sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien ini dilakukan eksisi per endoskopi dan diikuti dengan pemeriksaan histopatologi sebagai penatalaksanaan dan konfirmasi diagnosis. <strong>Kesimpulan</strong>: Tumor jinak di kavum nasal dapat berupa adenoma pleomorfik. Penatalaksanaan eksisi per endoskopi pada adenoma pleomorfik kavum nasal yang berasal dari septum memberikan hasil yang memuaskan.</p> Muhammad Reko Danuwirya Sukri Rahman Aswiyanti Asri Copyright (c) 2023 Muhammad Reko Danuwirya, Sukri Rahman, Aswiyanti Asri https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.18 Hubungan Alel Human Leukocyte Antigen A*11 dengan Kejadian Karsinoma Nasofaring pada Etnik Minangkabau di RSUP Dr. M. Djamil Padang http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/19 <p><strong>Latar Belakang :</strong> Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan sel skuamosa nasofaring yang etiologi dan epidemiologinya dipengaruhi oleh etnik di dunia.&nbsp; Etiologi KNF bersifat multifaktorial yaitu interaksi antara infeksi virus Epstein-Barr (EBV), faktor lingkungan dan faktor genetik. Human Leukocyte Antigen (HLA) merupakan alel yang berperan penting dalam presentasi antigen virus yang menentukan dampak respon imun terhadap infeksi&nbsp; EBV. HLA bersifat polimorfisme dan sangat bervariasi pada etnik yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya hubungan antara alel HLA dengan kejadian KNF. HLA-A*11 diduga berhubungan dengan insiden KNF yang rendah karena kemampuan alel tersebut memicu sistem imun dalam melawan virus. <strong>Tujuan </strong>: Mengetahui hubungan antara HLA-A*11 dengan kejadian KNF pada etnik Minangkabau di RSUP Dr. M. Djamil Padang. <strong>Metode </strong>: Penelitian analitik dengan menggunakan desain potong lintang (cross sectional),&nbsp; dilakukan terhadap 18 pasien KNF etnik Minangkabau&nbsp; dan 18 orang sehat etnik Minangkabau sebagai kontrol. Pada responden dilakukan pemeriksaan molekuler untuk melihat ekspresi HLA-A*11 dengan metode PCR-SSP (Polymerase Chain Reaction-Sequence Spesific Primer). Data dianalisis secara statistik dengan program komputer dan dinyatakan bermakna jika p &lt;0.05. <strong>Hasil</strong> : Pada penelitian ini frekuensi HLA-A*11 ditemukan lebih banyak pada pasien kontrol (77,8%) dibandingkan dengan pasien KNF (66,7%), akan tetapi secara statistik tidak bermakna (p&gt;0.05) <strong>Kesimpulan :</strong> Tidak terdapat hubungan Alel HLA-A*11 dengan kejadian karsinoma nasofaring pada etnik Minangkabau.</p> Jenny Tri Yuspitasari Sukri Rahman Al Hafiz Copyright (c) 2023 Jenny Tri Yuspitasari, Sukri Rahman https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.19 Pola Bakteri Berdasarkan Hasil Kultur dan Sensitivitas Antibiotik pada Penderita Abses Leher Dalam di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 2019-2021 http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/37 <p><strong>Latar Belakang :</strong> Penyakit abses leher dalam merupakan perluasan peradangan dari berbagai sumber infeksi yang membentuk suatu pus di dalam ruang potensial leher dalam. Infeksi pada ruang potensial leher dalam dapat disebabkan oleh bakteri aerob, bakteri anaerob, maupun multibakterial. Terapi antibiotik empiris diberikan sebelum hasil kultur dan uji sensitivitas antibiotik didapatkan. Tatalaksana pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik. <strong>Tujuan :</strong> Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola bakteri berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas antibiotik pada penderita abses leher dalam di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2019-2021. <strong>Metode :</strong> Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan teknik total sampling dan menggunakan data sekunder. Sampel penelitian adalah pasien abses leher dalam yang terdapat hasil kultur dan uji sensitivitas antibiotik di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2019-2021 dengan total 77 pasien. <strong>Hasil </strong><strong>:</strong> Hasil pada penelitian ini menunjukkan usia terbanyak ialah usia pertengahan (&gt;44-59 tahun) (37,7%), jenis kelamin terbanyak ialah laki-laki (74%), lama perawatan terbanyak ialah &lt; 7 hari (44,2%). Jenis abses leher dalam terbanyak ialah abses submandibula (42,9%), etiologi paling banyak ialah infeksi odontogenik (71,4%), terapi antibiotik empiris yang paling banyak digunakan ialah kombinasi <em>ceftriaxone</em> dan <em>metronidazole</em> (68,8%), hasil kultur terbanyak ialah bakteri <em>Klebsiella pneumonia</em> (18,2%), antibiotik dengan angka sensitif tertinggi ialah antibiotik <em>amikacin</em> (89,7%) dan <em>meropenem</em> (82,4%), dan angka resisten tertinggi ialah antibiotik <em>amoxicillin</em> (100%) dan <em>ampicillin</em> (93,3%). <strong>Kesimpulan </strong><strong>:</strong> pola bakteri berdasarkan hasil kultur ialah <em>Klebsiella pneumoniae</em> dan uji sensitivitas antibiotik didapatkan <em>gentamicin</em> dengan kombinasi <em>metronidazole</em> yang dapat digunakan sebagai antibiotik empiris pada penderita abses leher dalam.</p> Aurelia Agantha Salim Yuniar Lestari Ade Asyari Netti Suharti Cimi Ilmiawati Copyright (c) 2023 Aurelia Agantha Salim, Yuniar Lestari, Ade Asyari, Netti Suharti, Cimi Ilmiawati https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.37 Gambaran Perluasan Karsinoma Nasofaring Stadium Lanjut Berdasarkan CT Scan di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2019-2020 http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/27 <p>Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan dengan prevalensi terbanyak yang terjadi di Indonesia. Pasien dengan karsinoma nasofaring seringkali datang sudah dalam keadaan stadium lanjut (T3/T4), hal ini disebabkan karena gejala dan tanda keganasan ini pada stadium awal sangat sulit dideteksi. Penyakit ini dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk menentukan <em>staging</em>. Pemeriksaan radiologi yang umum dilakukan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan <em>CT scan</em> nasofaring. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, didapatkan informasi tentang keberadaan tumor dan daerah perluasan tumor yang masing-masing perluasannya memiliki prognosis yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai gambaran perluasan karsinoma nasofaring stadium lanjut berdasarkan <em>CT scan</em> di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain kuantitatif. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode <em>total samplin</em><em>g. </em>Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis hasil <em>CT scan</em> pada rekam medis pasien. Hasil penelitian didapatkan distribusi perluasan karsinoma nasofaring ke jaringan sekitar terbanyak pada stadium T3 adalah infiltrasi ke sinus paranasal sfenoid (28,6%) dan distribusi perluasan karsinoma nasofaring ke jaringan sekitar terbanyak pada stadium T4 adalah ekstensi ke intrakranial (83,8%).</p> Salsabilah Arrahman Sukri Rahman Tuti Handayani Copyright (c) 2023 Salsabilah Arrahman, Sukri Rahman, Tuti Handayani https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.27 Gambaran Kadar Pepsin pada Saliva Pasien Refluks Laringofaring di RSUP Dr. M. Djamil Padang http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/38 <p><em>Laryngopharyngeal reflux (RFL) is a condition of tissue inflammation in the upper aerodigestive tract due to the reflux of gastric and duodenal contents, the symptoms such as post-nasal drip, globus sensation, and heartburn which decrease quality of life. RFL was diagnosed subjectively using the Reflux Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS). The pepsin levels in saliva that were detected by ELISA can be a sensitive and objective diagnostic marker for RFL because pepsin was only produced by chief cells in the stomach. The purpose of this study was to determine the characteristics of RFL patients based on age, sex, features of complaints in RSI, features of anatomic abnormalities in RFS, and salivary pepsin levels.</em></p> <p><em>This study was a descriptive observational retrospective design. From September to October 2022, this study was carried out at the Medical Record Department of RSUP Dr. M. Djamil Padang. The Lemeshow formula was used as the minimum number sampling in this study, 22% was the value of the proportion of events.&nbsp;</em></p> <p><em>The findings of this study revealed that 20 patients with RFL were tested for pepsin levels in saliva at Dr. RSUP. M. Djamil Padang, with nearly the same total number of RFL patients in each age group. The majority of RFL patients (60.0%) were female, and the most common complaint felt by RFL sufferers was post-nasal drip (90.00%). The most common anatomic abnormality was diffuse laryngeal edema (100%), and the mean pepsin levels in saliva was 15.863 ng/mL. Pepsin was found in all samples.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: laringofaringeal reflux, pepsin, saliva</em></p> Mutiara Adinda Rahma Ade Asyari Yustini Alioes Copyright (c) 2023 Mutiara Adinda Rahma, Ade Asyari , Yustini Alioes https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.38 Profil Pasien COVID-19 dengan Gangguan Penghidu di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari - 31 Desember 2021 http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/40 <p><strong>Pendahuluan: </strong><em>Coronavirus disease</em> 2019 atau COVID-19 merupakan wabah penyakit yang mudah menular dan menimbulkan beragam gejala. Gejala tersebut termasuk gangguan penghidu yaitu perubahan dalam kemampuan penghidu yang baru-baru ini dirasakan pasien COVID-19 dan dijadikan salah satu gejala COVID-19 yang patut diwaspadai oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien COVID-19 dengan gangguan penghidu di RSUP Dr. M. Djamil Padang. <strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan jumlah sampel 73 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dirawat inap. Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padang pada bulan Juli – Oktober 2022. Data diambil dari rekam medis dengan metode simple random sampling.<strong> Hasil: </strong>Hasil penelitian ini didapatkan bahwa gangguan penghidu (58,9%) banyak terjadi pada pasien COVID-19. Rentang usia &gt;65 tahun (23,3%) merupakan usia terbanyak dan lebih banyak dialami oleh perempuan (46,5%). Hasil D-dimer yang didapatkan mengalami peningkatan yang tinggi (74,4%) dan pasien banyak yang tidak memiliki komorbiditas (55,8%). Hasil rawatan (outcome) terbanyak yakni sembuh atau perbaikan (76,7%). <strong>Kesimpulan:</strong> Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasien COVID-19 banyak yang mengalami gangguan penghidu dengan rentang usia &gt;65 tahun. Proporsi jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda. pasien merupakan perempuan. Kadar D-dimer ditemukan mengalami peningkatan dan banyak pasien yang tidak memiliki komorbiditas serta hasil rawatan terbanyak adalah pasien yang sembuh atau perbaikan.</p> Rifqoh Khotimah Sukri Rahman Tofrizal Tofrizal Copyright (c) 2023 Rifqoh Husnul Khotimah, Sukri Rahman, Tofrizal https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.40 Analisis Nilai Peak Nasal Inspiratory Flow pada Kejadian Rinitis Alergi http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/44 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Gejala hidung tersumbat sering merupakan gejala yang dominan pada rinitis alergi. Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF) adalah alat yang sangat bermanfaat untuk mengukur sumbatan hidung pada rinitis alergi karena terkait erat dengan tanda-tanda rinitis alergi berdasarkan pemeriksaan klinis dan berkorelasi baik dengan derajat keparahan rinitis alergi dan memiliki kelebihan yang sederhana, murah, nyaman, dan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan nilai PNIF antara orang dengan rinitis alergi dan non-rinitis alergi. <strong>Metode: </strong>Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dengan menggunakan pendekatan <em>cross sectional</em>. Skrining rinitis alergi menggunakan kuesioner <em>Score For Allergic</em><em>&nbsp; </em><em>Rhinitis</em> (SFAR) kemudian dilakukan anamnesis, nasoendoskopi, dan pengukuran PNIF di poliklinik THT BKL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Populasi adalah seluruh mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Andalas yang mengidap rinitis alergi dan non-rinitis alergi dengan total sampel sebanyak 36 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan <em>convenience sampling</em><strong>. Hasil: </strong>Hasil penelitian didapatkan median nilai PNIF pada kejadian rinitis alergi sebesar 100 (50-120) L/m. Rata-rata nilai PNIF pada kejadian non-rinitis alergi sebesar 130,56 ± 24,36 L/m (Maks = 190 L/m, Min = 90 L/m)<strong>. </strong>Dari hasil uji statistik <em>Mann-Whitney</em> didapatkan analisis beda nilai PNIF pada kejadian rinitis alergi dan non-rinitis alergi dengan nilai p &lt; 0,001<strong>. Kesimpulan: </strong>Kesimpulannya terdapat perbedaan nilai PNIF yang signifikan antara kejadian rinitis alergi dan non-rinitis alergi<strong>.</strong></p> Ken Rabbani Faathira Ade Asyari Afdal Afdal Copyright (c) 2023 Ken Rabbani Faathira, Ade Asyari, Afdal https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.44 Gambaran Klinis dan Terapi Pasien Karsinoma Laring di Departemen THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 2017-2021 http://jokli.fk.unand.ac.id/index.php/jokli/article/view/39 <p><strong>Pendahuluan: </strong>Karsinoma laring adalah suatu tumor ganas yang berasal dari sel epitel laring. Faktor risiko utama yang berperan dalam perkembangan penyakit karsinoma laring adalah merokok dan alkohol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran klinis dan terapi pasien karsinoma laring di departemen THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2017-2021. Desain penelitian ini adalah deskriptif retrospektif yang menggunakan data rekam medis pasien karsinoma laring dengan teknik pengambilan sampel yaitu <em>total sampling </em>yang berjumlah 41 orang. Data pasien kemudian diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa kasus pasien karsinoma laring terbanyak terjadi pada tahun 2017 dan 2018 (31,7%), rerata usia 64 tahun dengan kelompok usia terbanyak 51-60 tahun dan 61-70 tahun (31,7%), lebih banyak pada laki-laki (97,6%), dan mayoritas faktor risiko merokok (95,1%) namun tidak memiliki tiwayat alkohol (92,7%). Keluhan utama tersering suara serak (51,2%). Gejala klinis yang muncul terdiri dari suara serak (73,2%), sesak nafas (65,9%), batuk (56,1%), dan sulit menelan (43,9%). Lokasi paling banyak ditemukan glotis (73,2%), stadium yang sering ditemukan stadium IVA (57,9%), dan tipe histopatologi terbanyak karsinoma sel skuamosa (100%). Jenis terapi yang paling sering diberikan kemoterapi (46,3%). Dapat disimpulkan bahwa pasien karsinoma laring memiliki faktor risiko yang umum dan karakteristik klinik yang tipikal serta sebagian besar datang dalam stadium lanjut. Oleh karena itu diperlukan upaya promotif dan preventif yang lebih agresif terhadap penyakit ini</p> Rahmi Novira Putri Sukri Rahman Cimi Ilmiawati Copyright (c) 2023 Rahmi Novira Putri, Sukri Rahman, Cimi Ilmiawati https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2023-12-26 2023-12-26 2 1 10.25077/jokli.v2i1.39